KULLU BID`ATIN DHALALAH
Oleh : H. Luthfi Bashori
Pada
firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in
hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti :
SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma,
SEBAGIAN makhluq hidup.
Karena Allah juga
berfirman menceritakan tentang penciptaan jin Iblis yang berbunyi:
Khalaqtani min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku
(iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata
lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara mutlaq dengan arti :
SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa
Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian
juga dengan arti hadits Nabi SAW : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,.
Maka harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah
sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat
diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga
muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi SAW yang lain: Man sanna fil
islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man \`amila biha.
Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam,
maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.
Jadi
jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman
sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi SAW, dan dijanjikan pahala bagi
pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai
contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik)
adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf
Alquran, serta pembagiannya pada juz, ruku\`, maqra, dll yang hingga
kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk
lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut :
Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan:
SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya : 1. Adanya sebagian
masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang
dari mushalla. 2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan
Natalan. 3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama
muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah
furu\`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal sama-sama
mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena
merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi
sebagai BID`AH DHaLALAH).
Ada pula pemahaman
yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam
Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka
disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya: Adanya sekelompok
orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah
shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil
Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan
Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong
amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tetapi
dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan
shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada
bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati
tuntunannya secara langsung dari Nabi SAW maupun dari ulama salaf,
tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah
Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang
dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara
langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat
Alquran-Hadits yang memeerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan
adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.
Tetapi
mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah
shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan
BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan ulama salaf.
Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH
HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg
melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit, melaksanakan
perayaan maulid Nabi SAW, mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH
HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi
SAW, namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara
ma’nawiyah.
Contoh mudah, tentang pembacaan
tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca
surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah
perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat
Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada
Nabi SAW, yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan
doa yang disabdakan oleh Nabi SAW : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya :
Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas, bahwa menhadiri majelis
ta\`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah
perintah syariat yang terdapat di dalam Alquran-Hadits.
Hanya
saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan
acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID\`AH, tetapi termasuk
bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada
dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan
Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi
SAW dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar
radio atau menerbitkan majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal
Islam berkembang, Nabi SAW pernah melarang penulisan apapun yang
bersumber dari diri beliau SAW selain penulisan Alquran. Sebagaiman di
dalam sabda beliau SAW : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub
`anni ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku
selain alquran, barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah.
Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi SAW menghapus larangan
tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits
untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah
Nabi SAW untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi
batasan-batasan yang sangat ketat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat berbeda dengan
penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam
penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah
mencetuskan pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang
mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar
jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh
dari standar kebenaran syariat.
Contohnya,
dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri
penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan
Hadits NabiSAW. Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah
ketsiqahan menjadi syarat utama untuk diterima-tidaknya Hadits yang
diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah
atau bulletin dan yang semacamnya, jika berisi nilai-nilai kebaikan yang
sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH,
karena berdakwah lewat majalah atau bulletin ini, tidka pernah dilakukan
oleh Nabi SAW maupun oleh ulama salaf manapun. Namun karena banyak
manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi
tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.
(pejuangislam)
No comments:
Post a Comment